Pengaruh dan Fenomena Golongan Putih terhadap hasil Pemilihan Kepala Daerah
Latar Belakang
Indonesia adalah
negara demokrasi.Demokrasi adalah prinsip bangsa atau negara ini dalam
menjalankan pemerintahannya.Semenjak awal bergulirnya era reformasi, demokrasi kian
marak menjadi perbincangan seluruh lapisan bangsa ini.Demokrasi menjadi kosa
kata umum yang digunakan masyarakat untuk mengemukakan pendapatnya.Hal ini
didasarkan pada pengertian demokrasi menurut Abraham Lincoln adalah pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Di Negara yang
menganut paham demokrasi, bentuk partisipasi politik masyarakat yang paling
mudah diukur adalah ketika pemilihan umum berlangsung. Perilaku warga negara
yang dapat dihitung intensitasnya adalah melalui perhitungan persentase orang
yang menggunakan hak pilihnya (voter turnout) dibanding dengan warga negara
yang memiliki hak pilih secara keseluruhan. Negara yang telah stabil dalam
kehidupan berdemokrasi, biasanya tingkat partisipasi politik warganya sangat
stabil, tidak fluktuatif. Oleh karena itu, semakin meningkatnya angkat golput
menjadi pertanda yang tidak baik bagi perkembangan iklim demokrasi di
Indonesia, sebab jika angka ini semakin bertambah tinggi maka demokrasi tidak
akan berjalan dengan baik.
Indonesia pertamakali
dalam melaksanakan Pemilu pada akhir tahun 1955 yang diikuti oleh banyak partai
ataupun perseorangan. Dan pada tahun 2004 telah dilaksanakan pemilu yang secara
langsung untuk memilih wakil wakil rakyat serta presiden dan wakilnya. Dan
sekarang ini mulai bulan Juni 2005 telah dilaksanakan Pemilihan Kepala Daerah
atau sering disebut pilkada langsung. Pilkada ini merupakan sarana perwujudan
kedaulatan rakyat. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pilkada. Pemilihan
kepala daerah pertama yang diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini adalah
Pilkada DKI Jakarta 2007.
Dengan adany
pemilihan langsung oleh rakyat, ini membuat perkembangan Demokrasi di Indonesia
semakin tumbuh dengan baik. Masyarakat dapat memilih kepala daerah dan wakil
kepala daerah menurut pilihan mereka masing-masing. Setiap penduduk yang
memenuhi syarat dapat menggunakan hak pilihnya di TPU (Tempa Pemilihan Umum)
kawasannya bermukim. Sangat disayangkan dengan hadirnya pemilihan kepala
daeraha secara langsung tidak serta-merta membuat masyarakat menggunakan hak
pilih mereka. Golongan ini biasanya disebut sebagai golongan putih, namun
keberadaan golput senantiasa menyertai pelaksanaan pemilu baik pemilihan
daerah, pemilihan legislatif, maupun pemilihan presiden. Fenomena ini telah ada
sejak
Landasan
Teori
Dalam kajian
perilaku pemilih hanya ada dua konsep utama, yaitu; perilaku memilih (voting behavior)
dan perilaku tidak memilih (non voting behavior). David Moon mengatakan ada dua
pendekatan teoritik utama dalam menjelaskan prilaku non-voting yaitu: pertama,
menekankan pada karakteristik sosial dan psikologi pemilih dan karakteristik institusional
sistem pemilu; dan kedua, menekankan pada harapan pemilih tentang keuntungan
dan kerugian atas keputusan mereka untuk hadir atau tidak hadir memilih (dalam
Hasanuddin M. Saleh;2007).
Istilah golput
muncul pertama kali menjelang pemilu pertama zaman Orde Baru tahun 1971. Pemakarsa
sikap untuk tidak memilih itu, antara lain Arief Budiman, Julius Usman dan
almarhum Imam Malujo Sumali. Langkah mereka didasari pada pandangan bahwa
aturan main berdemokrasi tidak ditegakkan, cenderung diinjak-injak (Fadillah
Putra ;2003 ; 104).
Golput menurut
Arif Budiman bukan sebuah organisasi tanpa pengurus tetapi hanya merupakan
pertemuan solidaritas (Arif Budiman). Sedangkan Arbi Sanit mengatakan bahwa golput
adalah gerakan protes politik yang didasarkan pada segenap problem kebangsaan,
sasaran protes dari dari gerakan golput adalah penyelenggaraan pemilu. Mengenai
golput alm. KH. Abdurrahaman Wahid pernah mengatakan “ kalau tidak ada yang
bisa di percaya, ngapain repotrepot ke kotak suara? Dari pada nanti kecewa
(Abdurrahamn Wahid, dkk, 2009; 1).
Jadi berdasarkan
hal di atas, golput adalah mereka yang dengan sengaja dan dengan suatu maksud
dan tujuan yang jelas menolak memberikan suara dalam pemilu. Dengan demikian, orang-orang
yang berhalangan hadir di Tempat Pemilihan Suara (TPS) hanya karena alasan teknis,
seperti jauhnya TPS atau terluput dari pendaftaran, otomatis dikeluarkan dari
kategori golput. Begitu pula persyaratan yang diperlukan untuk menjadi golput
bukan lagi sekedar memiliki rasa enggan atau malas ke TPS tanpa maksud yang
jelas. Pengecualian kedua golongan ini dari istilah golput tidak hanya
memurnikan wawasan mengenai kelompok itu, melainkan juga sekaligus memperkecil
kemungkinan terjadinya pengaburan makna, baik di sengaja maupun tidak.
Pembahasan
Golput bisa
diartikan sebagai protes atau penolakan terhadap mekanisme dan sistem yang
sedang berjalan. Dan hendaknya harus kita sikapi dengan etika, moral dan civil
society sebagai hal yang positif terhadap masalah-masalah yang sifatnya struktural,
susbtansi dan prosedural sebagai sebuah gerakan moral politik. Artinya, partai
politik dalam mengusung calon harusnya memberi ruang kepada masyarakat pemilih
dalam merumuskan kepentingan dan konfi rmasi kepada pendukung dalam mengusulkan
calon dalam kontestasi politik. Jika tidak, tingginya angka Golput menjadi pekerjaan
rumah bagi partaipartai politik di Indonesia untuk secepatnya kembali
memikirkan formulasi agar konstituennya bisa kembali pulang kandang dan merapat.
Golput menuai
tafsir sebagai manifestasi sikap kritis yang menghendaki adanya perubahan
sistem politik dalam electoral law dan electoral process. Pada Pilkada Jakarta,
momentumnya adalah keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang
membatalkan UU Pemerintahan Daerah terkait item calon perorangan. Seperti kita
tahu, menjelang pelaksanaan PILKADA Jakarta, secara bersamaan keluar keputusan
MK yang melapangkan jalan adanya calon perorangan dalam PILKADA. Seperti
diketahui, menjelang pelaksanaan PILKADA, kandidatkandidat yang tidak mendapatkan
kendaraan politik kemudian menggunakan peluang politik dengan adanya calon
perorangan dalam PILKADA, meski keputusan MK itu belum operasional. Mencuatnya
angka golput bisa dibaca bahwa masyarakat tidak peduli terhadap politik. Masyarakat
tidak hirau, tidak peduli dengan arah kebijakan politik. Dengan demikian,
fenomena golput bisa diartikan bahwa tingkat apatisme politik masyarakat terhadap
masalah politik sangat rendah. Tentu apatisme politik seperti itu terkait
dengan perjalanan politik selama ini, dimana tingkat partisipasi masyarakat
politik yang tinggi setelah reformasi, tetapi tidak ada korelasinya dengan
membaiknya tarap kehidupan masyarakat bidang ekonomi dan politik. Politik
dengan demikian, hanya menjadi urusan elit belaka dan tidak memiliki hubungan
dengan masalah-masalah nyata yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan
argumen di atas ada beberapa hal yang perlu dicermati pada fenomena golput di
atas : pertama, Golput mampu menyeruak menjadi basis atas ketidakpercayaan pada
kader parpol. Fenomena golput juga dapat menjadi simbol ‘pembejaran’ bagi
setiap parpol, karena dari beberapa survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga
survei nasional menunjukkan bahwa kondisi parpol saat ini mengalami krisis
kepercayaan dari masyarakat. Kedua, Golput mencoba diakui sebagai sebuah peradaban
semacam ideologi (hak asazi manusia) dengan alasan kapok karena parpol yang ada
dianggap tidak capable, dan melanggar janjinya. Ketiga, persoalan ekonomi, masyarakat
lebih mengutamakan adanya pendapatan dan pekerjaan. Mereka tidak mau
meninggalkan pekerjaannya untuk memilih, karena merasa jenuh dan tidak mau
terlibat politik. Yang penting bagaimana memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Keempat, alasan teknis yaitu proses pendaftaran pemilih yang masih belum tertib
dan banyak manipulasi data pemilih. Dengan kata lain, koordinasi antar
departeman yang terlibat belum terlihat jelas dan masih tumpang tindih,
terutama data jumlah pemilih dan mekanisme yang panjang dan membingungkan.
Analisa Penyebab
Golput
Berdasar pemaparan
secara teoritis dan tinjauan penelitian sebelumnya ada perbedaan pendapat para
ahli dan temuan hasil penelitian tentang fenomena golput. Menurut David Moon ada
perilaku non-voting yaitu pertama, menekankan pada karakteristik sosial dan
psikologi pemilih serta karakteristik institusional sistem pemilu; dan kedua,
menekankan pada harapan pemilih tentang keuntungan dan kerugian atas keputusan
mereka untuk hadir atau tidak hadir memilih. Merujuk pedapat Arbi Sanit golput
dapat diklasifikasi menjadi tiga yaitu Pertama, menusuk lebih dari satu gambar
partai. Kedua, menusuk bagian putih dari kartu suara. Ketiga, tidak mendatangi
kotak suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan hak pilih. Sedangkan menurut
Novel Ali dapat di bagi dua kelompok golput awam dan kelompok golput pilihan.
Secara lebih detail diuraikan oleh Eep Saefulloh Fatah golput teknis, golput
teknis-politis golput politis dan golput ideologis.
Hasil penelitian
Tauchid Dwijayanto dalam kasus pilkada Jawa Tengah ada tiga yang menyebabkan
terjadinya golput yaitu lemahnya sosialisasi, masyarakat lebih mementingkan kebutuhan
ekonomi dan sikap apatisme masyarakat. Berdasarkan hasil temuan Efniwati ada dua
hal yang menyebabkan pemilih golput yaitu faktor pekerjaan dan faktor lokasi
TPS. Kemudian Eriyanto mengatakan ada empat alasan mengapa pemilih golput yaitu
karena administratif, teknis, rendahnya keterlibatan atau ketertarikan pada
politik (political engagement) dan kalkulasi rasional.
Berangkat dari
penjelasan ini dalam pemahaman penulis faktor yang menyebabkan masyarakat untuk
tidak menggunakan hak pilihnya secara sederhana dapat di klasifikasikan kedalam
dua kelompok besar yaitu faktor dari internal pemilih dan faktor ekternal. Faktor
internal yang penulis maksud adalah alasan pemilih untuk tidak menggunakan hak
pilih dalam pemilu bersumber dari dirinya sendiri, sedangkan ekternal alasan
tersebut datang dari luar dirinya.
Faktor Internal
Adapun beberapa
faktor internal yang penulis maksud diantaranya adalah alasan teknis dan
pekerjaan pemilih. Berikut dan penjelasannya :
a. Faktor Teknis
Faktor teknis yang
penulis maksud adalah adanya kendala yang bersifat teknis yang dialami oleh
pemilih sehingga menghalanginya untuk menggunakan hak pilih. Seperti pada saat
hari pencoblosan pemilih sedang sakit, pemilih sedang ada kegiatan yang lain serta
berbagai hal lainnya yang sifatnya menyangkut pribadi pemilih. Kondisi itulah
yang secara teknis membuat pemilih tidak datang ke TPS untuk menggunakan hak
pilihnya.
Faktor teknis ini
dalam pemahaman dapat di klasifikasikan ke dalam dua hal yaitu teknis mutlak
dan teknis yang bisa di tolerir. Teknis mutlak adalah kendala yang serta merta
membuat pemilih tidak bisa hadir ke TPS seperti sakit yang membuat pemilih
tidak bisa keluar rumah. Sedang berada di luar kota. Kondisi yang seperti yang
penulis maksud teknis mutlak. Teknis yang dapat di tolerir adalah permasalahan
yang sifatnya sederhana yang melakat pada pribadi pemilih yang mengakibat tidak
datang ke TPS. Seperti ada keperluan keluarga, merencanakan liburan pada saat
hari pemilihan. Pada kasus-kasus seperti ini dalam pemahaman penulis pemilih
masih bisa mensiasatinya, yaitu dengan cara mendatangi TPS untuk menggunakan
hak pilih terlebih dahulu baru melakukan aktivitas atau keperluan yang bersifat
pribadi.
Pemilih golput
yang karena alasan teknis yang tipe kedua ini cenderung tidak mengetahui
essensi dari menggunakan hak pilih, sehingga lebih mementingkan kepentingan
pribadi dari pada menggunakan pilihnya. Pemilih ideal harus mengetahui dampak
dari satu suara yang diberikan dalam pemilu. Hakikatnya suara yang diberikan itulah
yang menentukan pemimpin lima tahun mendatang. Dengan memilih pemimpin yang
baik berarti pemilih berkontribusi untuk menciptakan masa depan yang lebih baik
pula.
Faktor Pekerjaan
Faktor pekerjaan
adalah pekerjaan sehari-hari pemilih. Faktor pekerjaan pemilih ini dalam
pemahaman penulis memiliki kontribusi terhadap jumlah orang yang tidak memilih.
Berdasarkan data Sensus Penduduk Indonesia tahun 2010 dari 107,41 juta orang
yang bekerja, paling banyak bekerja di sektor pertanian yaitu 42,83 juta orang
(39,88 persen), disusul sektor perdagangan sebesar 22,21 juta orang (20,68
persen), dan sektor jasa kemasyarakatan sebesar 15,62 juta orang (14,54
persen).
Data yang hampir
sama di Provinsi Kepuluan Riau berdasrakan Data BPS 2010, sebanyak 31,9%
penduduk bekerja di sektor industri, sektor jasa kemasyarakatan sebesar 20,7%,
sektor perdagangan sebesar 18,18% dan pertanian dan perkebunan 13,5%.
Data di atas
menunjukkan sebagian besar penduduk Indonesia bekerja di sektor informal,
dimana penghasilanya sangat terkait dengan intensitasnya bekerja. Banyak dari sektor
informal yang baru mendapatkan penghasilan ketika mereka bekerja, tidak bekerja
berarti tidak ada penghasilan. Seperti tukang ojek, buruh harian, nelayan,
petani harian. Kemudian ada pekerjaan masyarakat yang mengharuskan mereka untuk
meninggal tempat tinggalnya seperti para pelaut, penggali tambang. Kondisi
seperti membuat mereka harus tidak memilih, karena faktor lokasi mereka bekerja
yang jauh dari TPS.
Faktor Eksternal
Faktor ektenal
faktor yang berasal dari luar yang mengakibatkan pemilih tidak menggukan hak
pilihnya dalam pemilu. Ada tiga yang masuk pada kategori ini menurut pemilih
yaitu aspek administratif, sosialisasi dan politik.
a. Faktor
Administratif
Faktor
adminisistratif adalah faktor yang berkaitan dengan aspek adminstrasi yang mengakibatkan
pemilih tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Diantaranya tidak terdata sebagai
pemilih, tidak mendapatkan kartu pemilihan tidak memiliki identitas kependudukan
(KTP). Hal-hal administratif seperti inilah yang membuat pemilih tidak bisa
ikut dalam pemilihan. Pemilih tidak akan bisa menggunakan hak pilih jika tidakterdaftar
sebagai pemilih. Kasus pemilu legislatif 2009 adalah buktinya banyaknya masyarakat
Indonesia yang tidak bisa ikut dalam pemilu karena tidak terdaftar sebagai pemilih.
Jika kondisi yang seperti ini terjadi maka secara otomatis masyarakat akan tergabung
kedalam kategori golput.
Faktor berikut
yang menjadi penghalang dari aspek administrasi adalah permasalahan kartu
identitas. Masih ada masyarakat tidak memilki KTP. Jika masyarakat tidak
memiliki KTP maka tidak akan terdaftar di DPT (Daftar Pemimilih Tetap) karena secara
administtaif KTP yang menjadi rujukkan dalam mendata dan membuat DPT. Maka
masyarakat baru bisa terdaftar sebagai pemilih menimal sudah tinggal 6 bulan di
satu tempat.
Golput yang
diakibat oleh faktor administratif ini bisa diminimalisir jika para petugas pendata
pemilih melakukan pendataan secara benar dan maksimal untuk mendatangi rumah-rumah
pemilih. Selain itu dituntut inisiatif masyarakat untuk mendatangi petugas pendataan
untuk mendaftarkan diri sebagai pemilih. Langkah berikutnya DPS (Daftar Pemilih
Sementara) harus tempel di tempat-tempat strategis agar bisa dibaca oleh masyarakat.
Masyarakat juga harus berinisiatif melacak namanya di DPS, jika belum terdaftar
segara melopor ke pengrus RT atau petugas pendataan. Langkah berikut untuk menimalisir
terjadi golput karen aspek adminitrasi adalah dengan memanfaatkan data kependudukan
berbasis IT. Upaya elektoronik Kartu Tanda Penduduk (E KTP) yang dilakukan
pemerintahan sekarang dalam pandangan penulis sangat efektif dalam menimalisir
golput administratif.
Sosialisasi
Sosialisasi atau
menyebarluaskan pelaksanaan pemilu di Indonesia sangat penting dilakukan dalam
rangka memenimalisir golput. Hal ini di sebabkan intensitas pemilu di Indonesia
cukup tinggi mulai dari memilih kepala desa, bupati/walikota, gubernur pemilu legislatif
dan pemilu presiden hal ini belum dimasukkan pemilihan yang lebih kecil RT/ RW.
Kondisi lain yang
mendorong sosialisi sangat penting dalam upaya meningkatkan partisipasi politik
masyarakat adalah dalam setiap pemilu terutama pemilu di era reformasi selalu
diikuti oleh sebagian peserta pemilu yang berbeda. Pada Pemilu 1999 diikuti sebanyak
48 partai politik, pada pemilu 2004 dikuti oleh 24 partai politik dan pemilu
2009 dikuti oleh 41 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal di Aceh.
Kondisi ini menuntut perlunya sosialisasi terhadap masyarakat. Permasalahan
berikut yang menuntut perlunya sosialisasi adalah mekanisme pemilihan yang
berbeda antara pemilu sebelum reformasi dengan pemilu sebelumnya. Dimana pada
era orde baru hanya memilih lambang partai sementara sekarang selian memilih
lambang juga harus memilih nama salah satu calon di partai tersebut. Perubahan
yang signifikan adalah pada pemilu 2009 dimana kita tidak lagi mencoblos dalam memilih
tetapi dengan cara menandai.
Kondisi ini
semualah yang menuntu pentingnya sosialisasi dalam rangka menyukseskan
pelaksanaan pemilu dan memenimalisir angka golput dalam setiap pemilu. Terlepas
dari itu semua penduduk di Indonesia sebagai besar berada di pedesaan maka
menyebar luaskan informasi pemilu dinilai pentingi, apalagi bagi masyarakat
yang jauh dari akses transportasi dan informasi, maka sosiliasi dari mulut ke
mulut menjadi faktor kunci mengurangi angka golput.
Faktor Politik
Faktor politik
adalah alasan atau penyebab yang ditimbulkan oleh aspek politik masyarakat
tidak mau memilih. Seperti ketidak percaya dengan partai, tak punya pilihan dari
kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada akan membawa perubahan
dan perbaikan. Kondisi inilah yang mendorong masyarakat untuk tidak menggunakan
hak pilihnya.
Stigma politik itu
kotor, jahat, menghalalkan segala cara dan lain sebagainya memperburuk
kepercayaan masyarakat terhadap politik sehingga membuat masyarakat enggan
untuk menggunakan hak pilih. Stigma ini terbentuk karena tabiat sebagian
politisi yang masuk pada kategori politik instan. Politik dimana baru mendekati
masyarakat ketika akan ada agenda politik seperti pemilu. Maka kondisi ini
meruntuhkan kepercayaan masyarakat pada politisi.
Faktor lain adalah
para politisi yang tidak mengakar, politisi yang dekat dan memperjuangkan
aspirasi rakyat. Sebagian politisi lebih dekat dengan para petinggi partai,
dengan pemegang kekuasaan. Mereka lebih menngantungkan diri pada pemimpinnya di
bandingkan mendekatkan diri dengan konstituen atau pemilihnya. Kondisi lain
adalah tingkah laku politisi yang banyak berkonflik mulai konflik internal
partai dalam mendapatkan jabatan strategis di partai, kemudian konflik dengan
politisi lain yang berbeda partai. Konflik seperti ini menimbulkan anti pati
masyarakat terhadap partai politik. Idealnya konflik yang di tampilkan para
politisi seharusnya tetap mengedepankan etika politik (fatsoen).
Politik pragamatis
yang semakin menguat, baik dikalangan politisi maupun di sebagian masyarakat.
Para politisi hanya mencari keuntungan sesaat dengan cara mendapatkan suara
rakyat. Sedangan sebagian masyarakat kita, politik dengan melakukan transaksi semakin
menjadi-jadi. Baru mau mendukung, memilih jika ada mendapatkan keutungan materi,
maka muncul ungkapan kalau tidak sekarang kapan lagi, kalau sudah jadi/terpilih
mereka akan lupa janji. Kondisi-kondisi yang seperti penulis uraikan ini yang
secara politik memengaruhi masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Sebagian
Masyarakat semakin tidak yakin dengan politisi. Harus diakui tidak semua
politisi seperti ini, masih banyak politisi yang baik, namun mereka yang baik
tenggelam dikalahkan politisi yang tidak baik.
Penutup
Fenomena golput merupakan
reaksi dan pembangkangan sipil dari rakyat karena karya demokrasi kita yang
lebih bersifat proses, prosedural daripada hasil, kesejatraan rakyat sebagai substansi
yang diperjuangkannya. Dalam karya agungnya, the city of God St. Agustinus berpendapat
bahwa cinta dan kasih merupakan nilai ideal dalam pembanguna kota atau Negara.
Sorotan St. Agustinus ini tentang kota ideal ini bukan tatanan fisik kota yang
dipanoramai oleh gedung-gedung dan jalur jalan, tetapi kondisi masyarakat yang
adil,damai, bahagia dan sejahtra sebagai hasil utama dari perjuagan demokrasi yang
bekerja untuk kepentiangan masyarakat itu sendiri. Namun kehidupan sosial negaa
kita benar-benar kontradiktif seperti paksaaan politik unilateral, komunikasi
politik yang tidak membangun peradaban, cerdas lewat iklan politik, ketidakadilan,
opresi, kekerasan, dan KKN yang merajalela. Fenomena golput yang berkembang
akhir-akhir ini dalam masyarakat kita merupakan reaksi yang bersifat etis moral
dan politik terhadap fenomena kehidupan bangsa yang sifat kontradiktif dan melawan
martabat luhur kemanusiaan.
Angka masyarakat
yang tidak memilih atau golput dari pemilu ke pemilu terus meningkat. Dari
pembahasan tulisan ini tergambar setidaknya ada lima faktor yang membuat orang
tidak memilih mulai dengan faktor teknis dan pekerjaan merupakan faktor
internal serta faktor ekternal yang terdiri dari administratif, sosialisasi dan
politik. Kelima faktor ini berkontribusi terhadap meningkatnya angka golput.
Fenomena golput
adalah reaksi terhadap turbelensi politik yang kotor, jijik, dan tidak berpihak
pada realitas kehidupan dan relevan dengan kebutuhan masyarakat. Golput
merupakan keinginan rakyat untuk menciptakan peradaban kota ilahi, kota ideal,
seperti yang dicita-citakan oleh St.Agustinus dalam beberapa abad yang silam.
Kota ideal ini akan terwujud jika kita mengedepakan dan mengutamakan
kesejahteraan sosial, keadilan bagi semua orang sebagai nilai subtansi dari
demokrasi.
Oleh karena itu harus
ada upaya yang maksimal untuk memenimalisir meningkatnya angka masyarakat yang
tidak memilih dalam pemilu. Karena kualitas pemilu secara tidak langsung juga
dilihat dari legitimasi pemimpin yang terpilih. Semakin kuat dukungan rakyat
semakin kuatlah tingkat kepercayaan rakyat.
Sumber refrensi :
- Jurnal
: IMPLIKASI GOLONGAN PUTIH DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN DEMOKRASI DI INDONESIA,
H. Soebagio
- Jurnal : ANALISIS KRITIS TERHADAP FENOMENA GOLPUT DALAM
PEMILU, Nyoman Subanda
- Jurnal
:
Kepercayaan Masyarakat Pada
Partai Politik (Studi Kasus Kecenderungan Golongan Putih Pada Pemilihan Kepala
Daerah di Wilayah Surabaya), Anton Yuliono, Alumni Program Magister
Administrasi, Pascasarjana – Untag Surabaya
-
Wikipedia : https://id.wikipedia.org/wiki/Golongan_putih