Kamis, 28 April 2016

Golongan Putih pada Pemilihan Kepala Daerah

Pengaruh dan Fenomena Golongan Putih terhadap hasil Pemilihan Kepala Daerah


Latar Belakang
Indonesia adalah negara demokrasi.Demokrasi adalah prinsip bangsa atau negara ini dalam menjalankan pemerintahannya.Semenjak awal bergulirnya era reformasi, demokrasi kian marak menjadi perbincangan seluruh lapisan bangsa ini.Demokrasi menjadi kosa kata umum yang digunakan masyarakat untuk mengemukakan pendapatnya.Hal ini didasarkan pada pengertian demokrasi menurut Abraham Lincoln adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Di Negara yang menganut paham demokrasi, bentuk partisipasi politik masyarakat yang paling mudah diukur adalah ketika pemilihan umum berlangsung. Perilaku warga negara yang dapat dihitung intensitasnya adalah melalui perhitungan persentase orang yang menggunakan hak pilihnya (voter turnout) dibanding dengan warga negara yang memiliki hak pilih secara keseluruhan. Negara yang telah stabil dalam kehidupan berdemokrasi, biasanya tingkat partisipasi politik warganya sangat stabil, tidak fluktuatif. Oleh karena itu, semakin meningkatnya angkat golput menjadi pertanda yang tidak baik bagi perkembangan iklim demokrasi di Indonesia, sebab jika angka ini semakin bertambah tinggi maka demokrasi tidak akan berjalan dengan baik.

Indonesia pertamakali dalam melaksanakan Pemilu pada akhir tahun 1955 yang diikuti oleh banyak partai ataupun perseorangan. Dan pada tahun 2004 telah dilaksanakan pemilu yang secara langsung untuk memilih wakil wakil rakyat serta presiden dan wakilnya. Dan sekarang ini mulai bulan Juni 2005 telah dilaksanakan Pemilihan Kepala Daerah atau sering disebut pilkada langsung. Pilkada ini merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pilkada. Pemilihan kepala daerah pertama yang diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007.

Dengan adany pemilihan langsung oleh rakyat, ini membuat perkembangan Demokrasi di Indonesia semakin tumbuh dengan baik. Masyarakat dapat memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah menurut pilihan mereka masing-masing. Setiap penduduk yang memenuhi syarat dapat menggunakan hak pilihnya di TPU (Tempa Pemilihan Umum) kawasannya bermukim. Sangat disayangkan dengan hadirnya pemilihan kepala daeraha secara langsung tidak serta-merta membuat masyarakat menggunakan hak pilih mereka. Golongan ini biasanya disebut sebagai golongan putih, namun keberadaan golput senantiasa menyertai pelaksanaan pemilu baik pemilihan daerah, pemilihan legislatif, maupun pemilihan presiden. Fenomena ini telah ada sejak


Landasan Teori
Dalam kajian perilaku pemilih hanya ada dua konsep utama, yaitu; perilaku memilih (voting behavior) dan perilaku tidak memilih (non voting behavior). David Moon mengatakan ada dua pendekatan teoritik utama dalam menjelaskan prilaku non-voting yaitu: pertama, menekankan pada karakteristik sosial dan psikologi pemilih dan karakteristik institusional sistem pemilu; dan kedua, menekankan pada harapan pemilih tentang keuntungan dan kerugian atas keputusan mereka untuk hadir atau tidak hadir memilih (dalam Hasanuddin M. Saleh;2007).
Istilah golput muncul pertama kali menjelang pemilu pertama zaman Orde Baru tahun 1971. Pemakarsa sikap untuk tidak memilih itu, antara lain Arief Budiman, Julius Usman dan almarhum Imam Malujo Sumali. Langkah mereka didasari pada pandangan bahwa aturan main berdemokrasi tidak ditegakkan, cenderung diinjak-injak (Fadillah Putra ;2003 ; 104).
Golput menurut Arif Budiman bukan sebuah organisasi tanpa pengurus tetapi hanya merupakan pertemuan solidaritas (Arif Budiman). Sedangkan Arbi Sanit mengatakan bahwa golput adalah gerakan protes politik yang didasarkan pada segenap problem kebangsaan, sasaran protes dari dari gerakan golput adalah penyelenggaraan pemilu. Mengenai golput alm. KH. Abdurrahaman Wahid pernah mengatakan “ kalau tidak ada yang bisa di percaya, ngapain repotrepot ke kotak suara? Dari pada nanti kecewa (Abdurrahamn Wahid, dkk, 2009; 1).
Jadi berdasarkan hal di atas, golput adalah mereka yang dengan sengaja dan dengan suatu maksud dan tujuan yang jelas menolak memberikan suara dalam pemilu. Dengan demikian, orang-orang yang berhalangan hadir di Tempat Pemilihan Suara (TPS) hanya karena alasan teknis, seperti jauhnya TPS atau terluput dari pendaftaran, otomatis dikeluarkan dari kategori golput. Begitu pula persyaratan yang diperlukan untuk menjadi golput bukan lagi sekedar memiliki rasa enggan atau malas ke TPS tanpa maksud yang jelas. Pengecualian kedua golongan ini dari istilah golput tidak hanya memurnikan wawasan mengenai kelompok itu, melainkan juga sekaligus memperkecil kemungkinan terjadinya pengaburan makna, baik di sengaja maupun tidak.


Pembahasan

Golput bisa diartikan sebagai protes atau penolakan terhadap mekanisme dan sistem yang sedang berjalan. Dan hendaknya harus kita sikapi dengan etika, moral dan civil society sebagai hal yang positif terhadap masalah-masalah yang sifatnya struktural, susbtansi dan prosedural sebagai sebuah gerakan moral politik. Artinya, partai politik dalam mengusung calon harusnya memberi ruang kepada masyarakat pemilih dalam merumuskan kepentingan dan konfi rmasi kepada pendukung dalam mengusulkan calon dalam kontestasi politik. Jika tidak, tingginya angka Golput menjadi pekerjaan rumah bagi partaipartai politik di Indonesia untuk secepatnya kembali memikirkan formulasi agar konstituennya bisa kembali pulang kandang dan merapat.

Golput menuai tafsir sebagai manifestasi sikap kritis yang menghendaki adanya perubahan sistem politik dalam electoral law dan electoral process. Pada Pilkada Jakarta, momentumnya adalah keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan UU Pemerintahan Daerah terkait item calon perorangan. Seperti kita tahu, menjelang pelaksanaan PILKADA Jakarta, secara bersamaan keluar keputusan MK yang melapangkan jalan adanya calon perorangan dalam PILKADA. Seperti diketahui, menjelang pelaksanaan PILKADA, kandidatkandidat yang tidak mendapatkan kendaraan politik kemudian menggunakan peluang politik dengan adanya calon perorangan dalam PILKADA, meski keputusan MK itu belum operasional. Mencuatnya angka golput bisa dibaca bahwa masyarakat tidak peduli terhadap politik. Masyarakat tidak hirau, tidak peduli dengan arah kebijakan politik. Dengan demikian, fenomena golput bisa diartikan bahwa tingkat apatisme politik masyarakat terhadap masalah politik sangat rendah. Tentu apatisme politik seperti itu terkait dengan perjalanan politik selama ini, dimana tingkat partisipasi masyarakat politik yang tinggi setelah reformasi, tetapi tidak ada korelasinya dengan membaiknya tarap kehidupan masyarakat bidang ekonomi dan politik. Politik dengan demikian, hanya menjadi urusan elit belaka dan tidak memiliki hubungan dengan masalah-masalah nyata yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan argumen di atas ada beberapa hal yang perlu dicermati pada fenomena golput di atas : pertama, Golput mampu menyeruak menjadi basis atas ketidakpercayaan pada kader parpol. Fenomena golput juga dapat menjadi simbol ‘pembejaran’ bagi setiap parpol, karena dari beberapa survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei nasional menunjukkan bahwa kondisi parpol saat ini mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat. Kedua, Golput mencoba diakui sebagai sebuah peradaban semacam ideologi (hak asazi manusia) dengan alasan kapok karena parpol yang ada dianggap tidak capable, dan melanggar janjinya. Ketiga, persoalan ekonomi, masyarakat lebih mengutamakan adanya pendapatan dan pekerjaan. Mereka tidak mau meninggalkan pekerjaannya untuk memilih, karena merasa jenuh dan tidak mau terlibat politik. Yang penting bagaimana memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Keempat, alasan teknis yaitu proses pendaftaran pemilih yang masih belum tertib dan banyak manipulasi data pemilih. Dengan kata lain, koordinasi antar departeman yang terlibat belum terlihat jelas dan masih tumpang tindih, terutama data jumlah pemilih dan mekanisme yang panjang dan membingungkan.

Analisa Penyebab Golput
Berdasar pemaparan secara teoritis dan tinjauan penelitian sebelumnya ada perbedaan pendapat para ahli dan temuan hasil penelitian tentang fenomena golput. Menurut David Moon ada perilaku non-voting yaitu pertama, menekankan pada karakteristik sosial dan psikologi pemilih serta karakteristik institusional sistem pemilu; dan kedua, menekankan pada harapan pemilih tentang keuntungan dan kerugian atas keputusan mereka untuk hadir atau tidak hadir memilih. Merujuk pedapat Arbi Sanit golput dapat diklasifikasi menjadi tiga yaitu Pertama, menusuk lebih dari satu gambar partai. Kedua, menusuk bagian putih dari kartu suara. Ketiga, tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan hak pilih. Sedangkan menurut Novel Ali dapat di bagi dua kelompok golput awam dan kelompok golput pilihan. Secara lebih detail diuraikan oleh Eep Saefulloh Fatah golput teknis, golput teknis-politis golput politis dan golput ideologis.
Hasil penelitian Tauchid Dwijayanto dalam kasus pilkada Jawa Tengah ada tiga yang menyebabkan terjadinya golput yaitu lemahnya sosialisasi, masyarakat lebih mementingkan kebutuhan ekonomi dan sikap apatisme masyarakat. Berdasarkan hasil temuan Efniwati ada dua hal yang menyebabkan pemilih golput yaitu faktor pekerjaan dan faktor lokasi TPS. Kemudian Eriyanto mengatakan ada empat alasan mengapa pemilih golput yaitu karena administratif, teknis, rendahnya keterlibatan atau ketertarikan pada politik (political engagement) dan kalkulasi rasional.
Berangkat dari penjelasan ini dalam pemahaman penulis faktor yang menyebabkan masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya secara sederhana dapat di klasifikasikan kedalam dua kelompok besar yaitu faktor dari internal pemilih dan faktor ekternal. Faktor internal yang penulis maksud adalah alasan pemilih untuk tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu bersumber dari dirinya sendiri, sedangkan ekternal alasan tersebut datang dari luar dirinya.

Faktor Internal
Adapun beberapa faktor internal yang penulis maksud diantaranya adalah alasan teknis dan pekerjaan pemilih. Berikut dan penjelasannya :
a. Faktor Teknis
Faktor teknis yang penulis maksud adalah adanya kendala yang bersifat teknis yang dialami oleh pemilih sehingga menghalanginya untuk menggunakan hak pilih. Seperti pada saat hari pencoblosan pemilih sedang sakit, pemilih sedang ada kegiatan yang lain serta berbagai hal lainnya yang sifatnya menyangkut pribadi pemilih. Kondisi itulah yang secara teknis membuat pemilih tidak datang ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya.
Faktor teknis ini dalam pemahaman dapat di klasifikasikan ke dalam dua hal yaitu teknis mutlak dan teknis yang bisa di tolerir. Teknis mutlak adalah kendala yang serta merta membuat pemilih tidak bisa hadir ke TPS seperti sakit yang membuat pemilih tidak bisa keluar rumah. Sedang berada di luar kota. Kondisi yang seperti yang penulis maksud teknis mutlak. Teknis yang dapat di tolerir adalah permasalahan yang sifatnya sederhana yang melakat pada pribadi pemilih yang mengakibat tidak datang ke TPS. Seperti ada keperluan keluarga, merencanakan liburan pada saat hari pemilihan. Pada kasus-kasus seperti ini dalam pemahaman penulis pemilih masih bisa mensiasatinya, yaitu dengan cara mendatangi TPS untuk menggunakan hak pilih terlebih dahulu baru melakukan aktivitas atau keperluan yang bersifat pribadi.
Pemilih golput yang karena alasan teknis yang tipe kedua ini cenderung tidak mengetahui essensi dari menggunakan hak pilih, sehingga lebih mementingkan kepentingan pribadi dari pada menggunakan pilihnya. Pemilih ideal harus mengetahui dampak dari satu suara yang diberikan dalam pemilu. Hakikatnya suara yang diberikan itulah yang menentukan pemimpin lima tahun mendatang. Dengan memilih pemimpin yang baik berarti pemilih berkontribusi untuk menciptakan masa depan yang lebih baik pula.


Faktor Pekerjaan
Faktor pekerjaan adalah pekerjaan sehari-hari pemilih. Faktor pekerjaan pemilih ini dalam pemahaman penulis memiliki kontribusi terhadap jumlah orang yang tidak memilih. Berdasarkan data Sensus Penduduk Indonesia tahun 2010 dari 107,41 juta orang yang bekerja, paling banyak bekerja di sektor pertanian yaitu 42,83 juta orang (39,88 persen), disusul sektor perdagangan sebesar 22,21 juta orang (20,68 persen), dan sektor jasa kemasyarakatan sebesar 15,62 juta orang (14,54 persen).
Data yang hampir sama di Provinsi Kepuluan Riau berdasrakan Data BPS 2010, sebanyak 31,9% penduduk bekerja di sektor industri, sektor jasa kemasyarakatan sebesar 20,7%, sektor perdagangan sebesar 18,18% dan pertanian dan perkebunan 13,5%.
Data di atas menunjukkan sebagian besar penduduk Indonesia bekerja di sektor informal, dimana penghasilanya sangat terkait dengan intensitasnya bekerja. Banyak dari sektor informal yang baru mendapatkan penghasilan ketika mereka bekerja, tidak bekerja berarti tidak ada penghasilan. Seperti tukang ojek, buruh harian, nelayan, petani harian. Kemudian ada pekerjaan masyarakat yang mengharuskan mereka untuk meninggal tempat tinggalnya seperti para pelaut, penggali tambang. Kondisi seperti membuat mereka harus tidak memilih, karena faktor lokasi mereka bekerja yang jauh dari TPS.


Faktor Eksternal
Faktor ektenal faktor yang berasal dari luar yang mengakibatkan pemilih tidak menggukan hak pilihnya dalam pemilu. Ada tiga yang masuk pada kategori ini menurut pemilih yaitu aspek administratif, sosialisasi dan politik.

a. Faktor Administratif
Faktor adminisistratif adalah faktor yang berkaitan dengan aspek adminstrasi yang mengakibatkan pemilih tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Diantaranya tidak terdata sebagai pemilih, tidak mendapatkan kartu pemilihan tidak memiliki identitas kependudukan (KTP). Hal-hal administratif seperti inilah yang membuat pemilih tidak bisa ikut dalam pemilihan. Pemilih tidak akan bisa menggunakan hak pilih jika tidakterdaftar sebagai pemilih. Kasus pemilu legislatif 2009 adalah buktinya banyaknya masyarakat Indonesia yang tidak bisa ikut dalam pemilu karena tidak terdaftar sebagai pemilih. Jika kondisi yang seperti ini terjadi maka secara otomatis masyarakat akan tergabung kedalam kategori golput.

Faktor berikut yang menjadi penghalang dari aspek administrasi adalah permasalahan kartu identitas. Masih ada masyarakat tidak memilki KTP. Jika masyarakat tidak memiliki KTP maka tidak akan terdaftar di DPT (Daftar Pemimilih Tetap) karena secara administtaif KTP yang menjadi rujukkan dalam mendata dan membuat DPT. Maka masyarakat baru bisa terdaftar sebagai pemilih menimal sudah tinggal 6 bulan di satu tempat.
Golput yang diakibat oleh faktor administratif ini bisa diminimalisir jika para petugas pendata pemilih melakukan pendataan secara benar dan maksimal untuk mendatangi rumah-rumah pemilih. Selain itu dituntut inisiatif masyarakat untuk mendatangi petugas pendataan untuk mendaftarkan diri sebagai pemilih. Langkah berikutnya DPS (Daftar Pemilih Sementara) harus tempel di tempat-tempat strategis agar bisa dibaca oleh masyarakat. Masyarakat juga harus berinisiatif melacak namanya di DPS, jika belum terdaftar segara melopor ke pengrus RT atau petugas pendataan. Langkah berikut untuk menimalisir terjadi golput karen aspek adminitrasi adalah dengan memanfaatkan data kependudukan berbasis IT. Upaya elektoronik Kartu Tanda Penduduk (E KTP) yang dilakukan pemerintahan sekarang dalam pandangan penulis sangat efektif dalam menimalisir golput administratif.

Sosialisasi
Sosialisasi atau menyebarluaskan pelaksanaan pemilu di Indonesia sangat penting dilakukan dalam rangka memenimalisir golput. Hal ini di sebabkan intensitas pemilu di Indonesia cukup tinggi mulai dari memilih kepala desa, bupati/walikota, gubernur pemilu legislatif dan pemilu presiden hal ini belum dimasukkan pemilihan yang lebih kecil RT/ RW.
Kondisi lain yang mendorong sosialisi sangat penting dalam upaya meningkatkan partisipasi politik masyarakat adalah dalam setiap pemilu terutama pemilu di era reformasi selalu diikuti oleh sebagian peserta pemilu yang berbeda. Pada Pemilu 1999 diikuti sebanyak 48 partai politik, pada pemilu 2004 dikuti oleh 24 partai politik dan pemilu 2009 dikuti oleh 41 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal di Aceh. Kondisi ini menuntut perlunya sosialisasi terhadap masyarakat. Permasalahan berikut yang menuntut perlunya sosialisasi adalah mekanisme pemilihan yang berbeda antara pemilu sebelum reformasi dengan pemilu sebelumnya. Dimana pada era orde baru hanya memilih lambang partai sementara sekarang selian memilih lambang juga harus memilih nama salah satu calon di partai tersebut. Perubahan yang signifikan adalah pada pemilu 2009 dimana kita tidak lagi mencoblos dalam memilih tetapi dengan cara menandai.
Kondisi ini semualah yang menuntu pentingnya sosialisasi dalam rangka menyukseskan pelaksanaan pemilu dan memenimalisir angka golput dalam setiap pemilu. Terlepas dari itu semua penduduk di Indonesia sebagai besar berada di pedesaan maka menyebar luaskan informasi pemilu dinilai pentingi, apalagi bagi masyarakat yang jauh dari akses transportasi dan informasi, maka sosiliasi dari mulut ke mulut menjadi faktor kunci mengurangi angka golput.


Faktor Politik
Faktor politik adalah alasan atau penyebab yang ditimbulkan oleh aspek politik masyarakat tidak mau memilih. Seperti ketidak percaya dengan partai, tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan. Kondisi inilah yang mendorong masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya.
Stigma politik itu kotor, jahat, menghalalkan segala cara dan lain sebagainya memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap politik sehingga membuat masyarakat enggan untuk menggunakan hak pilih. Stigma ini terbentuk karena tabiat sebagian politisi yang masuk pada kategori politik instan. Politik dimana baru mendekati masyarakat ketika akan ada agenda politik seperti pemilu. Maka kondisi ini meruntuhkan kepercayaan masyarakat pada politisi.
Faktor lain adalah para politisi yang tidak mengakar, politisi yang dekat dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Sebagian politisi lebih dekat dengan para petinggi partai, dengan pemegang kekuasaan. Mereka lebih menngantungkan diri pada pemimpinnya di bandingkan mendekatkan diri dengan konstituen atau pemilihnya. Kondisi lain adalah tingkah laku politisi yang banyak berkonflik mulai konflik internal partai dalam mendapatkan jabatan strategis di partai, kemudian konflik dengan politisi lain yang berbeda partai. Konflik seperti ini menimbulkan anti pati masyarakat terhadap partai politik. Idealnya konflik yang di tampilkan para politisi seharusnya tetap mengedepankan etika politik (fatsoen).
Politik pragamatis yang semakin menguat, baik dikalangan politisi maupun di sebagian masyarakat. Para politisi hanya mencari keuntungan sesaat dengan cara mendapatkan suara rakyat. Sedangan sebagian masyarakat kita, politik dengan melakukan transaksi semakin menjadi-jadi. Baru mau mendukung, memilih jika ada mendapatkan keutungan materi, maka muncul ungkapan kalau tidak sekarang kapan lagi, kalau sudah jadi/terpilih mereka akan lupa janji. Kondisi-kondisi yang seperti penulis uraikan ini yang secara politik memengaruhi masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Sebagian Masyarakat semakin tidak yakin dengan politisi. Harus diakui tidak semua politisi seperti ini, masih banyak politisi yang baik, namun mereka yang baik tenggelam dikalahkan politisi yang tidak baik.


Penutup
Fenomena golput merupakan reaksi dan pembangkangan sipil dari rakyat karena karya demokrasi kita yang lebih bersifat proses, prosedural daripada hasil, kesejatraan rakyat sebagai substansi yang diperjuangkannya. Dalam karya agungnya, the city of God St. Agustinus berpendapat bahwa cinta dan kasih merupakan nilai ideal dalam pembanguna kota atau Negara. Sorotan St. Agustinus ini tentang kota ideal ini bukan tatanan fisik kota yang dipanoramai oleh gedung-gedung dan jalur jalan, tetapi kondisi masyarakat yang adil,damai, bahagia dan sejahtra sebagai hasil utama dari perjuagan demokrasi yang bekerja untuk kepentiangan masyarakat itu sendiri. Namun kehidupan sosial negaa kita benar-benar kontradiktif seperti paksaaan politik unilateral, komunikasi politik yang tidak membangun peradaban, cerdas lewat iklan politik, ketidakadilan, opresi, kekerasan, dan KKN yang merajalela. Fenomena golput yang berkembang akhir-akhir ini dalam masyarakat kita merupakan reaksi yang bersifat etis moral dan politik terhadap fenomena kehidupan bangsa yang sifat kontradiktif dan melawan martabat luhur kemanusiaan.
Angka masyarakat yang tidak memilih atau golput dari pemilu ke pemilu terus meningkat. Dari pembahasan tulisan ini tergambar setidaknya ada lima faktor yang membuat orang tidak memilih mulai dengan faktor teknis dan pekerjaan merupakan faktor internal serta faktor ekternal yang terdiri dari administratif, sosialisasi dan politik. Kelima faktor ini berkontribusi terhadap meningkatnya angka golput.
Fenomena golput adalah reaksi terhadap turbelensi politik yang kotor, jijik, dan tidak berpihak pada realitas kehidupan dan relevan dengan kebutuhan masyarakat. Golput merupakan keinginan rakyat untuk menciptakan peradaban kota ilahi, kota ideal, seperti yang dicita-citakan oleh St.Agustinus dalam beberapa abad yang silam. Kota ideal ini akan terwujud jika kita mengedepakan dan mengutamakan kesejahteraan sosial, keadilan bagi semua orang sebagai nilai subtansi dari demokrasi.

Oleh karena itu harus ada upaya yang maksimal untuk memenimalisir meningkatnya angka masyarakat yang tidak memilih dalam pemilu. Karena kualitas pemilu secara tidak langsung juga dilihat dari legitimasi pemimpin yang terpilih. Semakin kuat dukungan rakyat semakin kuatlah tingkat kepercayaan rakyat.


Sumber refrensi :
-  Jurnal : IMPLIKASI GOLONGAN PUTIH DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN DEMOKRASI DI INDONESIA, H. Soebagio
-    Jurnal     :   ANALISIS KRITIS TERHADAP FENOMENA GOLPUT DALAM PEMILU, Nyoman Subanda
-       Jurnal   :   Kepercayaan Masyarakat Pada Partai Politik (Studi Kasus Kecenderungan Golongan Putih Pada Pemilihan Kepala Daerah di Wilayah Surabaya), Anton Yuliono, Alumni Program Magister Administrasi, Pascasarjana – Untag Surabaya
-          Wikipedia  :   https://id.wikipedia.org/wiki/Golongan_putih
-          Kompas     :   http://www.kompasiana.com/golput-golongan-putih